
ilustrasi supreme leader (Ghifar)
Oleh: Akhmad Mus
Demokrasi dalam otokrasi muslim mungkin dalam benak kita akan bertanya-tanya dan merasa aneh. Akan tetapi perkara yang nyata, bahwa otokrat-otokrat muslim (otokrat adalah raja yang memegang kekuasaan di dalam tanganya sendiri, tidak dibatasi oleh grondwet, parlemen dan sebagainya. Jika hal ini tidak juga meninggalkan rasa demokrasi yang terkandung dalam Agama, maka kemauan batin mereka sendiri yang berusaha menaklukan individualisme dan berusaha mewujudkan kesenangan dan keselamatan besama.
Menoleh kebelakang refleksi pada sejarah muslim, terdapat beberapa contoh yang memberikan pelajaran kepada kita semua salah satunya ialah Sayidina Umar. Seketika pada suatu malam-malam, Ia pergi meronda dengan menyamar pergi ke setiap dusun untuk mengetahui keberatan dan keluh kesah rakyat kecil (orang-orang miskin). Ia juga pernah bersumpah bahwa ingin menjauhkan dirinya dari kesenangan-kesenangan hidup, sebelum dapat memperbaiki kesusahan-kesusahan yang diderita oleh rakyatnya. Dari penjelasan tadi, kita dapat merefleksikan apa yang telah dilakukan sahabat Nabi sebagai pemimpin atau raja. Kita tunaikan jiwa seorang pemimpin yang sangat memberikan hak penuh kepada rakyatnya. Sehingga tidak hanya memikirkan tanggungjawab individu, tetapi juga mengayomi seluruh rakyatnya.
Sayidina Umar menganggap pekerjaan menjadi raja atau pemimpin itu merupakan kewajiban yang suci. Dalam hal ini, pemimpin yang berjiwa besar harus betul-betul berpikir dan menjalankan amanahnya. Naluri seorang raja atau pemimpin akan terbentuk dari internal jiwanya, menjadikan sebuah amanah yang bertanggungjawab menjalankan apa yang menjadi kewajiban. Muncul sebuah pertanyaan, apakah sulit ketika menjalankannya. Tidak ada suatu hal yang sulit untuk dilakukan, ketika dengan naluri yang jernih untuk melakukan hal yang terbaik untuk orang lain (mementingkan rakyat, daripada dirinya sendiri). Menginat amanat yang selalu sering dilontarkan bapak proklamator kita (Soekarno, red.), “Biarlah diri merana, asalkan negara tetap terjaga.” Oleh karena itu, penting bagi pemimpin membangun rasa empati untuk mencoba merasakan apa yang dirasakan rakyat kecil. Maksud dari rakyat kecil disini ialah yang masih membutuhkan kemerdekaan orang lain (bantuan pemerintah). Dekatilah mereka untuk mendalami memahami apa yang untuk mereka keluh kesahkan. Serta tidak ada sekedar ‘janji manis’ yang terucap. Sehingga dapat memberikan sinergi pencapaian sebagai seorang pemimpin yang berjiwa besar dan sejarah akan menjadi saksi yang tidak sedikitpun pernah melupakan kualitas dari pemimpin tersebut.
Selain Sayidina Umar, contoh lain yang dapat kita teladani ialah Sultan Hamid Khan II Turki. Tidak ada bandingan diantara raja-raja Islam lain yang memiliki pemahaman akan kekuasaan tunggal (absolutisme), dengan mengumpulkan segala kebesaran dan kekuasaan negeri di dalam tangan-tangannya sendiri. Meskipun demikian, Ia tidak menunjukkan bukti-bukti dari apa yang dilakukan kepada rakyat untuk menyelamatkan dirinya. Selama kepemimpinan di Turki, segala pabrik-pabrik di Konstantinopel, Pabrik Gelas, Pabrik Wol, Pabrik Sepatu, dan pabrik-pabrik lainnya, menjadi milik negara dan dikerjakan oleh warga negaranya. Sedangkan upah untuk para karyawan ditetapkan secara adil atau sesuai dengan apa yang dikerjakkan. Namun diprioritaskan lebih bagi pegawai-pegawai yang membantu anak-anak yatim piatu dan fakir miskin.
Sultan Hamid Khan II Turki juga tidak menghilangkan hak-hak kaum hawa (perempuan, red.) yang ingin bekerja membantu suaminya dalam mencari nafkah. Pabrik yang dikelola oleh pemerintahan Turki, Pabrik Wol Harika, di mana parbik tersebut seluruh karyawannya merupakan kaum hawa. Bahkan, Ia sudah menyiapkan menyediakan tempat tinggal yang menyenangkan dan aman untuk mereka. Dari hal tersebut kita bisa mengambil sebuah pelajaran yang sangat berarti, ketika setiap manusia sadar dan serius akan tanggung jawabnya di dunia ini untuk menjadi seorang pemimpin yang tidak hanya memikirkan dirinya sendiri. Maka tidak menutup kemungkinan kehidupan dalam suatu negara itu akan memberikan respon positif dalam implementasinya dalam pemerintahan.
Makna demokratis dalam suatu pemerintahan ialah tidak hanya memikirkan dirinya sendiri, akan tetapi juga memberikan andil terhadap kinerja lembaga yang lain. Sehingga tanggungjawab yang diembannya pun tidak pernah lepas. Hal ini dapat menjadikan pembelajaran bagi negara yang berideologi Pancasila untuk bisa berjiwa yang demokrasi dan sosialis. Negara ini butuh pemimpin yang berjiwa Otokrasi dalam Muslim dan komitmen dalam dirinya yang terbentuk dari kayakinannya terhadap Tuhan Yang Maha Esa. Bahwa perjuangan yang hakiki itu yang memiliki jiwa sosial yang tinggi dan demokratis, mengingat istilah seorang filsuf dan matematikawan Yunani (Plato, red.),”jikalau ingin tidak diinjak kakinya oleh orang lain, maka masukanlah kakimu ke sapatu orang itu”.
Masalah yang dihadapi sekarang ini ialah pembentukan karakter sumber daya manusia (SDM) didalamnya. Jika SDM telah membentuk diri dengan baik, maka kualitas kinerja suatu pemimpin akan memberikan pekerjaan yang layak dapat dinikmati oleh masyarakat. Jika sebaliknya, maka negeri ini akan merasakan hal yang pahit. Karakter yang ditanamkan sejak dini jiwa spritual yang tinggi terhadap keyakinananya setiap individu, dalam hal ini tidak lepas dari aspek fisik, mental emosional, intelektual. Kesempurnaan manusia dan sebaik-baiknya manusia dimuka bumi diciptakan, Ahsanuhtaqwim (surah At-tin ke 95).
Menjalani sebuah tanggungjawab besar ini akan mendapatkan kelas-kelas yang bekualitas dan hal yang berkelas tinggi di mata Tuhan Maha Esa, serta manusia akan merasakan apa yang menjadi tanggungjawabnya. Sebaik-baiknya tanggungjawab dimuka bumi dapat bermanfaat bagi manusia. Beberapa manfaat yang disampaikan, bertujuan untuk memberikan yang terbaik untuk kelangsungan hidup di negeri ini. Saya akhiri tulisan ini dengan sebuah pesan terbaik dari Proklamator, “buanglah jiwa-jiwa yang terbelinger, jika merasa bingung dengan jalannya revolusi negeri ini, kembalikanlah semua itu ke rakyat, maka negeri ini akan menemukan rillnya revolusi (kutipan pidato 1946 Soekarno).” (*)